Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Sabtu, 11 Juni 2011

Kita Kadang Salah Memahami Keinginan IBU yang Sederhana


Mungkin tidak ada makhluk yang spesial dalam hidup kita selain IBU, ia begitu spesial karena pergorbanannya, karena cintanya, karena sayangnya, dan karena ketulusan dan doa-doanya kepada kita. Dan tak ada satupun paham di dunia ini yang tak sepaham akan itu.

Begitu spesialnya ia diciptakan bahkan diagungkan oleh ALLAH SWT di beberapa ayatnya,kita selalu dituntut untuk senantiasi berlaku baik kepadanya, berbakti kepadanya, menjaga perasaanya, medoakannya dan membahagiakannya. Namun kita berdua terlahir di generasi yang berbeda, hidup di zaman yang tak sama, mengalami perubahan-perubahan sosial budaya yang tak serupa. Terkadang memunculkan perbedaan yang membuat komunikasi kita dengan ibu tak sejalan, kehendak tak seiring dan pikiran yang tak sepaham.

Ibu memiliki pandangan yang lebih dalam tentang hidup dan perasaan, kadang tidak bisa dipahami oleh kita sebagai anaknya. Keinginan-keinginan yang sederhana seringkali ditafsirkan rumit oleh kita sehingga melahirkan praduga-praduga yang tak mendasar dan akhirnya membuat ia kecewa.

Ia sekedar ingin menunjukkan cinta, kasih sayang dan perhatiannya ketika itu. Ketika anak laki-laki satu-satunya ini ingin berangkat untuk sekolah lagi di Jawa. ibu,karena ia merasa akan berpisah dengan anak yang dicintainya dengan jarak yang jauh dalam waktu yang lama, karena belum pernah memang aku meninggalkan orang tuaku selama ini, tentu ia ingin meluapkan perhatian dan kasih sayangnya dengan mengantar anaknya ke bandara. Ya.. orang tua manapun pasti ingin menyertai anaknya pada saat-saat yang penting itu entah untuk sekedar memberi semangat atau mendoakannya.

Tapi anak laki-laki ini yang merasa sudah besar, dewasa dan tidak ingin dibilang anak manja tanpa rasa bersalah mengatakan “Ndak usahmi bu antarka',..” tapi saya selalu kalah membujuk ibu, keinginannya lebih besar daripada usaha saya, walaupun mungkin dalam hatinya sedikit kecewa dengan kata-kata anaknya ini. Sampai di bandarapun saya bilang lagi “Ndak usahmi bu turun, saya langsung masuk saja boarding..” saya sih cuma berpikir karena memang mobil ndak boleh parkir lama-lama di depan ruang keberangkatan, cuma bisa turunkan penumpang dan barang, …ibu langsung pulang saja”. Tapi diapun bersikeras melihat saya sampai masuk ke bandara waktu itu, Setelah mencium tangan dan pipinya saya pun masuk ke bandara. Saya masih melihat wajahnya yang sedih di luar bandara ketika saya sudah masuk waktu itu.

Disinilah kadang kita salah dalam berpikir dan menerka keinginan orang tua kita terutama ibu, kita hanya mampu menerka bahwa ibu mengangap kita masih anak-anak yang perlu ditemani dan dimanja. Padahal mungkin persoalannya tidak sesederhana itu, orang tua kita mungkin tidak bermaksud memperlakukan kita seperti itu, mereka ingin tetap memberikan cintanya dalam waktu sekejap sebelum ia berpisah dengan anaknya. Atau mungkin ia berpikir “anakku membutuhkan kekuatan doa dan semangat, maka aku ingin mengiringi kepergiannya dengan lantunan doa”. Sederhana memang tapi kita kadang tidak menyadarinya.”

Atau ketika ia sering bahkan setiap hari menelpon, ketika kita sudah dirantau, hanya untuk sekedar bilang “lagi dimaki nak..” “lagi bikin apa..” “sudah makan belum..” Sebagian dari kita mengangap mungkin telponnya menggangu kita, atau sudah bosan mendengarnya, atau mengangap ngapain sih ibu nelpon terus, saya baik-baik saja kok, Seolah kita masih anak kecil yang harus di cek dan pantau tiap hari aktivitasnya, yang sebelumnya ketika kita masih bersama mereka ia jarang menelpon. Disinilah saya bahkan mungkin sebagian dari kita gagal memahami hal yang sederhan itu.

Mungkin ketika ia menelpon, ibu hanya ingin melepas rindunya dan mengobati rasa sepinya, ia begitu senang ketika mendengar suara kita disana, atau kabar kita baik-baik saja, sehat dan sudah makan. Ini yang coba kita pahami, maka jauhkan rasa terbebani itu, jauhkan kata-kata yang mungkin bisa menyakiti hatinya itu, Sebab ketika kita jauh darinya, mungkin hanya itu bakti yang bisa kita berikan untuk membalas jasa-jasanya yang tak terhingga yang tak tak mungkin terlunaskan.

Semoga kita dapat membahagiakan orang tua kita dengan memahami dan memenuhi keinginan-keinginannya yang sederhana. Karena pada hakikatnya apapun yang kita berikan,tidak akan pernah sepadan dengan kasih sayang yang mereka curahkan untu kita.

-Ketika kata itu sulit terucap, saya hanya bisa menuliskan rinduku disini, ibuku Sayang-

Sumber Inspirasi : Tarbawi

Sabtu, 04 Juni 2011

Transisi Epidemiologi : Triple Burden for Indonesia


Dalam dunia kesehatan kita sering mendengar kata Transisi Epidemiologi, atau beban ganda penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya. Ya..mungkin seperti itulah pengertian Transisi Epidemiologi yang saya ketahui.

Teori transisi epidemiologi sendiri pertama kali dikeluarkan oleh seorang pakar Demografi Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati perkembangan kesehatan di negara industri sejak abad 18. Dia kemudian menuliskan sebuah teori bahwa ada 3 fase transisi epidemiologis yaitu 1)The age of pestilence and famine, yang ditandai dengan tingginya mortalitas dan berfluktuasi serta angka harapan hidup kurang dari 30 tahun, 2)The age of receding pandemics, era di mana angka harapan hidup mulai meningkat antara 30-50 dan 3)The age of degenerative and man-made disease, fase dimana penyakit infeksi mulai turun namun penyakit degeneratif mulai meningkat. gambaran itu memang untuk negara Barat.

Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari beberapa tokoh seperti Rogers dan Hackenberg (1987) dan Olshansky and Ault(1986) membuat Omran melakukan sedikit revisi. Bagi negara Barat, ketiga model tersebut ditambah 2 lagi yaitu: 4)The age of declining CVD mortality, ageing, lifestyle modification, emerging and resurgent diseases ditandai dengan angka harapan hidup mencapai 80-85, angka fertilitas sangat rendah, serta penyakit kardiovakular dan kanker, serta 5)The age of aspired quality of life with paradoxical longevity and persistent inequalities yang menggambarkan harapan masa depan, dengan angka harapan hidup mencapai 90 tahun tetapi dengan karakteristik kronik morbiditas, sehingga mendorong upaya peningkatan quality of life.

Selain itu, Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara berkembang dengan mengganti fase ketiganya menjadi “The age of triple health burden” yang ditandai dengan 3 hal yaitu: a) masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan (infeksi penyakit menular), b)munculnya problem kesehatan baru dan c)pelayanan kesehatan yang tertinggal (Lagging), Namun ketika itu dikaitkan dengan jenis penyakit beberapa pakar menggati beban ketiga itu dengan “New Emerging Infectious Disease” Penyakit menular baru/penyakit lama muncul kembali.

Indonesia sebagai negara berkembang dekade saat ini dan kedepan diperkirakan akan berada pada fase ketiga ini yaitu “The age of triple health burden”. Tiga beban ganda kesehatan. Kita akan membahas beban ini satu-persatu.

Beban pertama yang dihadapi Indonesia adalah masih tingginya angka kesakitan penyakit menular “klasik”. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua Negara berkembang apalagi negara tersebut berada pada daerah tropis dan sub-tropis. Angka kesakitan dan kematian relatif cukup tinggi dan berlangsung sangat cepat menjadi masalahnya. Sebut saja Tuberkulosis (TB), Kusta, Diare, DBD, Filarisisi, Malaria, Leptospirosis dan masih banyak lagi teman-temannya. Seolah Indonesia sudah menjadi rumah yang nyaman buat mereka tinggal (baca:endemis). Sudah berpuluh-puluh tahun pemerintah kita mencoba membuat program memberantas bahkan mengeliminasi penyakit ini namun penyakit ini belum juga mau pergi dari Indonesia, Sudah Trilyunan Rupiah dikeluarkan agar mereka mau meningga
lkan Indonesia, Malah trend kasusnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Penyakit menular ini merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Secara garis besar, biasa kita sebut Segitiga Epidemiologi (Epidemiological Triangle) yaitu lingkungan, Agent penyebab penyakit, dan pejamu. Ketidakseimbangan ketiga faktor inilah yang bisa menimbulkan penyakit tersebut. Kita tidak akan membahasnya satu persatu disini. Informasi lebih jelsnya anda bisa membaca buku tentang Epidemiologi dan Kesehatan Lingkungan.

Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular secara konsep sebenarnya bisa kita lakukan dengan memutus mata rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan kontak agen penyebab
penyakit dengan pejamu. Mengintervensi faktor risiko utama yaitu Modifikasi lingkungan (menciptakan lingkungan yang sehat) dan mengubah perilaku menjadi hidup bersih dan sehat. Namun kedua faktor utama inilah yang sampai sekarang tidak mampu dimodifikasi. Masalahnya cukup kompleks, bisa disebabkan karena kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada upaya preventif (pencegahan), Sektor kesehatan merasa bekerja sendiri menyelesaikan masalah kesehatan, Keadaan politik,sosial dan ekonomi menjadi akar masalah kita.

Beban Kedu
a yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka kesakitan dan kematian akibat Penyakit Tidak Menular (Non-Communicable Disease). Sebut saja Hipertensi, Diabetes Mellitus, Penyakit Cardiovaskuler (CVD), Ischemic Heart Disese, PPOK, Kanker dan teman-temannya. Masalah utamanya adalah angka kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia sudah lebih tinggi daripada kematian akibat penyakit menular. pada tahun 1995 kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 41,7 persen dan tahun 2007 meningkat menjadi 59,5 persen, ini yang tercatat di pelayanan kesehatan bagaimana dengan yang tidak tercatat ? Ini juga menjadi salah satu masalah PTM sekarang ini, pencatatan yang hampir tidak ada sama sekali di pelayanan kesehatan, sehingga sulit menentukan besaran masalahnya dan menentukan kebijakan di daerah maupun pusat.

PTM dikenal dengan sebutan Silent Killer, bisa membunuh secara diam-diam, dan ketika terdeteksi oleh penderita, sudah pada tingkat keparahan yang tinggi dan sudah sulit disembuhkan, dan biasanya akan berakhir dengan kecacatan atau kematian. Tidak ada Faktor yang spesifik dan dominan penyebab PTM ini. Faktor risiko penyakit ini cukup banyak dan saling berinteraksi. Berbagai penelitian menyebutkan faktor risiko yang sering ditemukan adalah pada perilaku yaitu merokok, minum beralkohol, makanan (Fastfood dengan kolestrol tinggi), dan kurangnya aktivitas fisik. Pencegahan yang bisa kita lakukan ya..dengan mengubah perilaku kita menjadi perilaku yang sehat,menjaga pola makan yang baik dan sehat, sering berolahraga dan hindari rokok dan minum alkohol.

Beban ketiga yang dihadapi Indonesia adalah munculnya penyakit baru (new emerging Infectious Disease). Sebut saja HIV (1983), SARS (2003), Avian Influenza (2004), H1N1 (2009). Penyakit ini rata-rata disebabkan oleh virus lama yang berganti baju (baca:bermutasi) itulah yang menyebabkan tubuh manusia sering tidak mengenalnya dengan cepat. Akibatnya angka kesakitan dan kematian pada penyakit ini sangat tinggi dan berlangsung sangat cepat.

Adanya penyakit infeksi yang baru ataupun penyakit infeksi lama yang muncul kembali merupakan konskuensi logis dari sebuah proses evolusi alam, selain itu kemampuan mikroba pathogen untuk mengubah dirinya, manusia dengan perubahan teknologi dan perilakunya juga memberikan peluang kepada mikroba untuk secara alamiah merekayasa dirinya secara genetik, perubahan iklim global juga turut campur dalam timbul dan berkembangnya penyakit baru ini.

Pengendalian penyakit infeksi baru bermacam-macam pendekatan namun diperlukan pemahaman teradap 2 hal yakni epidemiologi global penyakit atau dinamika penyebaran penyakit secara global dan pemahaman terhadap cara-cara penularan lokal. (Achmadi,2009)

Dengan melihat gambaran di atas, Indonesia 10-20 tahun kedepan belum mampu mewujudkan Indonesia Sehat. Kami hanya mampu menyarankan kepada anda untuk membantu pemerintah mempercepat terwujudnya Indonesia sehat dengan Berpikir Sehat, Berperilaku bersih dan Sehat, dan Mengajak orang-orang untuk hidup Sehat. Karena dengan bergerak bersama-sama Kita bisa mewujudkan MIMPI ITU, melihat INDONESIA SEHAT.

Sumber :
Horison Baru Kesehatan Masyarakat Indonesia (Umar Fahmi Achmadi)
Penyakit Tropis (Widoyono)
Sumber lain yang tidak bisa sy sebutkan semuanya
MySpace
 
 
Blogger Templates