Senin libur, ndak ada kerjaan, pusing mikirin proyek lapangan ndak jelas kapan selesainya, browsing, searching dan saya pun iseng membuka www.21cineplex.com berharap ada film bagus yang bisa ditonton, maklum udah 3 minggu saya melihat daftar film di bioskop jogja kok ndak ada yang bagus, kalau bukan tema-nya tentang setan-setan, pasti film semi esek2, atau film barat yang kadang tidak masuk akal setelah baca sinopsisnya.hehehe.. Akhirnya saya tertarik melihat synopsis film The Mirror Never Lies,emm..kayaknya menarik untuk ditonton kataku dalam hati, akhirnya setelah lihat jadwalnya (alhamdulillah ada jadwal yang tidak mengharuskan menjamak sholat..hehehe) saya kemudian berangkat ke salah satu bioskop di jogja. Setelah nonton, emm.. tak sabar untuk posting di blog ini. Sedikit sharing aja..hehehe.., semoga bisa jadi rekomendasi bagi yang belum nonton.
Film ini menceritakan tentang seorang anak yang bernama
Pakis yang diperankan oleh anak suku bajo asli (Gita novalista) yang menunggu dan rindu berharap ayahnya bisa pulang dari melaut. Namun diakhir cerita dikisahkan Pakis harus menerima kenyataan bahwa ayahnya meninggal di lautan ketika sedang berlayar mencari ikan. Ibu Pakis,
Tayung (Atiqah Hasiholan) sudah berulang kali meminta Pakis untuk tidak lagi menunggu-nunggu ayahnya, tapi Pakis tetap bersikeras. Ia bahkan selalu mengunjungi Sanro (dukun) untuk bertanya tentang keberadaan ayahnya, sambil selalu membawa cermin pemberian ayahnya. Pakis selalu ditemani oleh sahabatnya yang bernama
Lumo (Eko) dalam pencarian ayahnya ini. Kemudian muncul
Tudo (Reza Rahadian) seorang peneliti lumba-lumba dari Jakarta, hadir di kehidupan ibu dan anak ini, dan konflik selanjutnya hadir dengan sederhana di antara mereka.
Alur ceritanya memang cukup sederhana, tidak terlalu banyak konflik didalamnya, namun banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dalam film ini. Tentang kearfian lokal suku bajo dalam menghadapi hidup di lautan, tentang menghargai alam menghargai laut dan melestarikannya, tentang penantian seorang anak, tentang ketidakramahan laut, tentang keindahan alam wakatobi, tentang kebudayaan orang bajo dan masih banyak lagi…pokoknya nonton aja dech…
Saya ingin sedikit menceritakan tentang suku bajo terlebih dahulu sebelum kita review tentang fim ini. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan. Bagi masyarakat Bajo, lautan selalu merupakan tempat satu-satunya untuk menetap dan bertemu. Ini sesuai dengan prinsip mereka: “Kami adalah orang-orang laut.” Kelak prinsip itu mengalami dilema, bahkan mendapatkan suatu ‘ancaman’ ketika mereka dihadapkan dengan program pemerintah yang mengharuskan mereka hidup menetap. Jauh dari prinsip mereka sebagai suku pengembara laut. makanya, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap disamaratakan sebagai suku Bajo.
Setting dalam film ini diambil di pulau Wakatobi yang terletak di Sulawesi Tenggara, saya sangat menyukai pengambilan gambar dalam film ini, saya baru melihat bahwa Wakatobi pulau yang sangat indah, pemandangan bawah lautnya, Sunsetnya, terumbu karang yang banyak dan indah, dimana ikan-ikan hias seperti Nemo dkk pasti sangat suka tinggal di tempat seperti itu. Penonton mungkin akan lebih terpesona melihat gambar-gambar tersebut daripada memperhatikan alur ceritanya.
Berikut beberapa point yang saya coba bagikan, kenapa film ini layak ditonton :
1.Sinematografinya luar biasa, keindahan bawah laut, pemandangan alamnya itu loch..yang membuat saya berniat ingin mengunjungi pulau itu suatu saat, selain raja ampat di papua. Hehehe… :D
2.Menampilkan keseharian masyarakat di sana yang unik. Bayangkan saja mereka hidup di rumah-rumah yang terapung di atas air. Rumah itu hanya terbuat dari bambu, kayu, anyaman untuk dinding, tapi mereka tetap bertahan! Untuk berjalan ke rumah tetangga, dan untuk aktivitas yang lain, mereka berjalan diatas kayu-kayu yang disusun saling berkaitan. Susunan kayu yang tampak seperti ”jembatan-jembatan” kecil itu tidak lebar, mungkin hanya selebar satu tapak kaki orang dewasa. Tapi mereka dengan lincah berjalan di atasnya, yang anak-anak kecil bahkan berlarian, tanpa takut terjatuh. Wih.. Jika ingin beraktivitas di tempat yang agak jauh dari pemukiman mereka, mereka menggunakan alat transportasi perahu kecil yang didayung manual, tidak menggunakan mesin. Inilah alat transportasi mereka ketika mereka ke sekolah, melaut, mencari ikan, atau kepulau sebelah menjual tangkapannya.
3.Beberapa adengan menarik yang saya tangkap adalah ketika teman Pakis Lumo (Eko), mendayung perahunya dengan santai, sambil berbaring!weits..dasar anaklaut, Ada juga adengan anak kecil kurang lebih 5 tahun mendayung perahu kecilnya dengan santai…lucu bgt, Atau ketawa Lumo yang lucu, yang kalau menontonya pasti ikut ketawa hahahaha, adegan seorang anak perempuan kecil yang bermain hulahop dikepalanya,ketika pakis termenung,hehehe.. dan adegan susahnya mencari air tawar, pakis dan lumo harus mendayung perahu jauh ke pulau yang berbukit, ada juga adegan tentang tradisi perjodohan yang unik di masyarakat tersebut. Atau gambar cermin-cermin yang digantung di atas pohon.weits pokoknya masih banyak dech..
4.Tidak ada soundtrack film dalam film ini yang ada hanya Selingan nyanyian ”live” tanpa iringan alat musik, lagu-lagu daerah yang bagi saya tidak asing, karena mirip dengan lagu-lagu bugis, dialog yang lucu dan tingkah polah alami khas anak kampung yang diperankan baik oleh Pakis, Lumo, dan beberapa pemeran figuran dari anak2 penduduk asli Wakatobi menjadi hiburan tersendiri dan membuat film ini menjadi tidak membosankan.
5.Film ini ingin menyampaikan pesan bahwa manusia dapat hidup berdampingan dengan alam, sepanjang kita juga menjaga kelestarian dan tidak mencemarinya. Ada dialog yang menarik antara Tudo dan Pakis, ketika Tudo bertanya : ”Kenapa kamu mau tinggal di sini? Di atas air. Tidak takut?” kemudian Pakis bilang : ”Katanya Ayah sy tidak perlu takut. Di sini bagus. Walaupun setiap hari bergoyang tapi kita tetap hidup”.Dalam film itu diperlihatkan beberapa adegan mengenai perlindungan ekosistem laut. Contohnya, tidak mengambil ikan yang masih kecil agar masih bisa terjadi proses regenerasi populasi. Ada pula eksplorasi terhadap nilai-nilai kearifan masyarakat setempat dalam menjaga lingkungan. Kegamangan Pakis meninggalkan pesan bahwa lautan sebetulnya bisa bersahabat dengan manusia. Namun, itulah lautan, sebuah kondisi keras yang harus dihadapi oleh suku Bajo dari Wakatobi. Terlebih, pekerjaan melaut menjadi bertambah keras akibat alam semakin tidak nyaman dan tak menentu. Yang telah membuat para istri menjadi janda dan anak menjadi yatim.
6.Belum banyak film Indonesia yang mengangkat tema tentang kehidupan salah satu suku bangsanya. di antara yang sedikit itu, film The Mirror Never Lies (Laut Bercermin) ini adalah salah satunya. Film yang disutradarai oleh Kamila Andini, putri dari sutradara senior Garin Nugroho ini turut didukung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi dan World Wide Foundation (WWF).