gambar: panoramio.com |
Dalam blog ini setidaknya sudah
ada 3 tulisan tentang ibu, maka untuk adilnya saya akan coba menulis tentang
seorang Ayah. Ya ini juga mungkin sudah sesuai dengan sunnah Rasul tentang
berakti kepada kedua orangtua :
ibumu..ibumu..ibumu...kemudian Ayahmu.
Bersyukurlah kita yang masih bisa
melihat dan merasakan sosok seorang ayah, apalagi ketika kedua orang tua kita
masih hidup sampai hari ini. Ada banyak juga saudara kita yang tidak sempat
merasakan lama kehangatan seorang ayah, atau bahkan hanya bisa melihat foto
sang ayah. Terlepas dari itu sejatinya ayah kita selalu ada. Walaupun ia telah
meninggal, ia membekas di guratan wajah kita yang kata orang mirip, ada di DNA
kita bahkan sebagian sifatnya ia tularkan kepada kita. Like father like son. Selalu ada alasan untuk merasakan ayah kita
selalu ada.
Mengenang ayah dalam setiap
potongan hidup kita tidaklah mudah bagi saya, sebab kita anak-anaknya sering
gagal memahami peran ayah dalam keseluruhannya. Kita kadang hanya menghadirkan
ayah pada moment tertentu saja dari sekian panjang hidup yang kita jalani. Ayah hanya kita hadirkan ketika kita membutuhkan
uang misalnya. Untuk biaya sekolah, kuliah, jajan, beli ini, beli itu dsb. Atau
ayah kita kenang ketika dia marah-marah kepada kita, yang sempat saya ingat
ketika saya pernah dipukul waktu kecil dengan sapu ketika saya bolos mengaji
atau ketika saya malas sholat. Kita kadang hanya mengingat penggalan-penggalan
seperti itu, ketika kita dewasa kita baru mengerti, ia melakukan itu semua karena menjalankan
fungsinya sebagai seorang ayah. Tak bisa disangkal ayah kita memberikan seluruh
hidupnya untuk kita, tapi kita membagi sangat sedikit untuk dia. Sebaliknya
kita seorang anak membebani pikiran ayah sepanjang waktu, tapi pikiran kita
hanya sekali waktu melintaskan kehadiran ayah kita. Tapi dia tidak sekalipun
pernah berpikir ketidakpedulian anak-anaknya itu, semua ia konversi dengan
ketulusan untuk memberi.
Seandainya cinta dan perhatian
hanya diwakili dengan kata-kata, mungkin banyak ayah akan masuk dalam kategori
tidak berhati dan tidak perhatian. Karena banyak seorang ayah yang sulit
mengungkapkan perasaannya, bahkan pada anak-anaknya sendiri. Saya merasakan
itu. ketika kita sampai pada sebuah pencapaian yang membanggakan, misalnya
ketika lulus masuk magister di Jawa..begitu saya menyampaikan hal itu ke
ayah...ya tidak ada eksperesi yang diharapkan, biasa saja... ayah hanya bilang berapa SPP yang harus disiapkan. Kita
memang kadang tidak memahami sudut pandang seperti itu, tapi kita harus yakin,
ayah selalu bangga atas pencapaian yang kita perbuat... betapa bangga seorang
Ayah ketika dia bercerita ke teman-temannya, sanak keluarga bahwa anaknya lagi
sedang kuliah di Jawa, dan kita tidak tahu itu, ya..sederhana memang, ayah kita memilih gayangya
sendiri, diam tak banyak bicara, memberi ucapan selamat, tapi boleh jadi dengan
kata-kata yang biasa. Ayah kita bahagia tapi tidak mengatakannya, ayah kita
memuji namun tak menverbalkannya. Ayah kita bangga namun tak mengeksperikannya.
Inilah semata bahasa cinta yang berbeda antara ayah dan ibu. Ayah punya cara
sendiri dalam mencintai kita.
Yang ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan,
tetapi sesuatu yang tak terucapkan (Will Roger S).
Inspirasi: Tarbawi
Yah,,Bapak selalu punya cara yang berbeda mewujudkan cinta dan perhatiannya..
BalasHapusBaca tulisan ta' yang ini bikin tambah kangen ka' sama bapakku..pdhl baru semalam tidak sama..
betullll...ada banyak cara yg beliau lakukan untuk membuat kita semakin sadar dalam memaknainya dan kadang diluar nalar kita.
BalasHapus