Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Minggu, 27 Januari 2013

Sisi seorang Ayah

gambar: panoramio.com

Dalam blog ini setidaknya sudah ada 3 tulisan tentang ibu, maka untuk adilnya saya akan coba menulis tentang seorang Ayah. Ya ini juga mungkin sudah sesuai dengan sunnah Rasul tentang berakti kepada kedua orangtua :  ibumu..ibumu..ibumu...kemudian Ayahmu.

Bersyukurlah kita yang masih bisa melihat dan merasakan sosok seorang ayah, apalagi ketika kedua orang tua kita masih hidup sampai hari ini. Ada banyak juga saudara kita yang tidak sempat merasakan lama kehangatan seorang ayah, atau bahkan hanya bisa melihat foto sang ayah. Terlepas dari itu sejatinya ayah kita selalu ada. Walaupun ia telah meninggal, ia membekas di guratan wajah kita yang kata orang mirip, ada di DNA kita bahkan sebagian sifatnya ia tularkan kepada kita. Like father like son. Selalu ada alasan untuk merasakan ayah kita selalu ada.


Mengenang ayah dalam setiap potongan hidup kita tidaklah mudah bagi saya, sebab kita anak-anaknya sering gagal memahami peran ayah dalam keseluruhannya. Kita kadang hanya menghadirkan ayah pada moment tertentu saja dari sekian panjang hidup yang kita jalani. Ayah  hanya kita hadirkan ketika kita membutuhkan uang misalnya. Untuk biaya sekolah, kuliah, jajan, beli ini, beli itu dsb. Atau ayah kita kenang ketika dia marah-marah kepada kita, yang sempat saya ingat ketika saya pernah dipukul waktu kecil dengan sapu ketika saya bolos mengaji atau ketika saya malas sholat. Kita kadang hanya mengingat penggalan-penggalan seperti itu, ketika kita dewasa kita baru mengerti, ia melakukan itu semua karena menjalankan fungsinya sebagai seorang ayah. Tak bisa disangkal ayah kita memberikan seluruh hidupnya untuk kita, tapi kita membagi sangat sedikit untuk dia. Sebaliknya kita seorang anak membebani pikiran ayah sepanjang waktu, tapi pikiran kita hanya sekali waktu melintaskan kehadiran ayah kita. Tapi dia tidak sekalipun pernah berpikir ketidakpedulian anak-anaknya itu, semua ia konversi dengan ketulusan untuk memberi.

Seandainya cinta dan perhatian hanya diwakili dengan kata-kata, mungkin banyak ayah akan masuk dalam kategori tidak berhati dan tidak perhatian. Karena banyak seorang ayah yang sulit mengungkapkan perasaannya, bahkan pada anak-anaknya sendiri. Saya merasakan itu. ketika kita sampai pada sebuah pencapaian yang membanggakan, misalnya ketika lulus masuk magister di Jawa..begitu saya menyampaikan hal itu ke ayah...ya tidak ada eksperesi yang diharapkan, biasa saja... ayah hanya  bilang berapa SPP yang harus disiapkan. Kita memang kadang tidak memahami sudut pandang seperti itu, tapi kita harus yakin, ayah selalu bangga atas pencapaian yang kita perbuat... betapa bangga seorang Ayah ketika dia bercerita ke teman-temannya, sanak keluarga bahwa anaknya lagi sedang kuliah di Jawa, dan kita tidak tahu itu, ya..sederhana memang, ayah kita memilih gayangya sendiri, diam tak banyak bicara, memberi ucapan selamat, tapi boleh jadi dengan kata-kata yang biasa. Ayah kita bahagia tapi tidak mengatakannya, ayah kita memuji namun tak menverbalkannya. Ayah kita bangga namun tak mengeksperikannya. Inilah semata bahasa cinta yang berbeda antara ayah dan ibu. Ayah punya cara sendiri dalam mencintai kita.

Yang ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tetapi sesuatu yang tak terucapkan (Will Roger S).

Inspirasi: Tarbawi

2 komentar:

  1. Yah,,Bapak selalu punya cara yang berbeda mewujudkan cinta dan perhatiannya..
    Baca tulisan ta' yang ini bikin tambah kangen ka' sama bapakku..pdhl baru semalam tidak sama..

    BalasHapus
  2. betullll...ada banyak cara yg beliau lakukan untuk membuat kita semakin sadar dalam memaknainya dan kadang diluar nalar kita.

    BalasHapus

 
 
Blogger Templates