Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Senin, 23 Mei 2011

Potret Pendidikan di Garis perBATASan Indonesia


Apa yang membuat saya tertarik menonton film ini ? Pertama,orang-orang yang hebat dan berpengalaman yang berada di balik layar maupun pemeran dalam film ini. Sebut saja Rudi Sudjarwo yang duduk sebagai sutradara, Slamet Rahardjo sebagai penulis scenario,siapa sih yang tidak kenal mereka, kecuali mereka yang jarang nonton..hehehe… Bintang senior Piet Pagau dan Jajang C Noer, ada juga Marcella Zalianty, Ardina Rasti dan Arifin Putra. Ya..mereka cukup terkenal dengan totalitasnya dalam berakting..Betul ndak(Sok Tahu). alasan Kedua saya menonton film ini karena film ini mengambil tema "Sosial-Budaya" dan sisi lain dari Indonesia. Ya..seperti Minggu lalu, saya juga sudah mereview film The Mirror never lies, film yang juga mengangkat tema yang sama, bedanya minggu lalu kita diajak ke pulau wakatobi melihat kearifan lokal suku bajo di laut, kali ini kita belajar dari alam hutan pedalaman Kalimantan, tepatnya di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. Gini ceritanya….


Scene pertama diawali seorang gadis yang dikejar-kejar oleh 2 orang dalam hutan. Dia adalah pekerja TKI yang melarikan diri dari negara tetangga Malaysia. Ia kemudian ditolong oleh Ari (penjaga perbatasan) kemudian di bawah ke kampung Dayak. Oleh masyarakat Dayak disana ia diberi nama UBUH (Ardina Rasti), UBUH tak hanya memperoleh perlindungan namun juga kehangatan dan keramahan yang perlahan membuatnya berangsur pulih dari trauma. Saya suka sama akting Ubuh dalam film ini, sangat ekpresif, menjiwai, Spesialis muka sendu kata orang yang nonton disebelahku. Hanya 2 kata yang terucap selama ia berakting “Mereka Jahat” (Enak banget ya.. ndak capek-capek hafal scenario….) hehehe…
MySpace

Scene selanjutnya berpindah ke Jaleswari(Marcella Zalianty), tokoh utama dalam film ini, Jaleswari ditugaskan bosnya untuk mengamati dan mencari solusi dengan program CSR bidang pendidikan yang terputus tanpa kejelasan di Kalimantan. Banyak guru pulang dan tidak betah mengajar disana. Jaleswari pun menerima tugas itu, walaupun alasan utama sebenarnya ia ingin menenangkan diri akibat suaminya meninggal. Singkat cerita Jaleswari akhirnya tiba di suatu kawasan budaya Dayak. Dia pun berjumpa dengan Adeus, salah satu guru di sana, berjumpa pula dengan Panglima dayak bertemu opik, bertemu Ari, serta bertemu dengan Borneo, anak kecil yang berani dan memilki semangat tinggi untuk belajar...disinilah konflik bermula.

Ternyata Kenyataan Jaleswari tidak seperti yang diinginkan. Daerah perbatasan di pedalaman Kalimantan ternyata memiliki pola kehidupan sendiri, sosial budaya yang berbeda, mereka punya pandangan tersendiri tentang garis perbatasan, tentang pendidikan, tentang bagaimana bertahan hidup. Konflik batin terjadi ketika dia terperangkap pada masalah kemanusiaan yang jauh lebih menarik dan menyentuh perasaan dibanding data perusahaan yang sangat teoritis dan terasa kering karena pada hakekatnya masalah sebenarnya adalah tidak mudah untuk memperbaiki dan menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan itu penting bagi mereka. upaya memperbaiki kehidupan masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan adat istiadat setempat, begitupula masalah pendidikan. “Belajar itu tidak hanya dalam ruang kotak segi empat saja” tapi belajar itu bisa di alam. Begitulah Jaleswari mencoba mengerti dan memahami pola pikir masyarakat disana. Mampukah dia diterima ? Mampukah masyarakat berubah setelah kehadirannya ? Ya..nonton aja sendiri.

Ada beberapa kekurangan dan ketidakmengertian saya tentang film ini. Film ini menyajikan konflik yang cukup banyak, saking banyaknya cerita ini menjadi tidak konsisten, ya..saya sih bisa mengerti sang sutradara maupun penelis scenario sebenarnya mungkin mau mengangkat semua masalah yang ada disana, ya..apakah itu masalah perbatasan, masalah pendidikan, Masalah hutan, Masalah TKI, Masalah akses daerah terpencil, masalah budaya dan adat istiadat dan masalah lainnya, Itulah yang membuat cerita dalam film ini kurang begitu kuat. Alur ceritanya juga lambat… ujung-ujungnya kadang datar dan sulit dimengerti (atau mungkin saya yang tidak nangkap ya…hohohho)Selain itu penggunanan bahasa yang cukup berat dimengerti dalam film ini. Sound yang menganggu karena tidak stabil seolah-olah terpotong-potong, saya tidak tahu apakah memang asalnya dari film itu, atau mungkin sound dibioskop tadi memang kurang bagus. Kata "BATAS" sendiri ternyata diakhir cerita punya banyak makna, tidak sekedar daerah perbatasannya saja. Batas disini memiliki arti yang lebih universal. Yang mungkin akan kalian temui dikehidupan nyata. Tentang batas tenggang rasa, batas memiliki kemerdekaan dan batas-batas lain yang harusnya dimengerti dan digunakan sebagaimana mestinya.
MySpace

Tapi terlepas dari semua itu secara garis besar film ini layak untuk ditonton. Tidak sekedar menonton tentunya tapi kita juga bisa belajar dari film ini. Belajar dari alam, Belajar bersyukur, kalau kita masih cukup beruntung dibandingkan saudara kita yang berada di pedalaman, di daerah-daerah terpencil, yang tak tersentuh tangan-tangan pemerintah. Lagi-lagi pemerintah. Kemana pemerintah kita? Mana kewajiban mereka untuk mencerdaskan anak bangsanya, untuk memberi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia..? "Ya..jangankan di daerah terpencil ndra di kota aja masih banyak yang tidak bisa merasakannya.." Butuh komitmen semua elemen masyarakat untuk mewujudkan itu semua (Sok Bijak: mode on)

“Hidup bukan antara keinginan dan kenyataan. Tapi keinginan untuk menghadapi kenyataan..."
MySpace

1 komentar:

  1. BABYLISS PRO nano titanium curling iron - Titanium Arts
    Description of BABYLISS PRO nano titanium curling iron - raft titanium The ideal application titanium screws for baking and home titanium nipple bars improvement. This titanium mens wedding band cutting titanium sheet edge steel is made with $1.89 · ‎In stock

    BalasHapus

 
 
Blogger Templates